Skip to content

Panteisme Jawa dan Humanisme Barat

December 6, 2011

tuduhipun kang darbeni tulis
yen sira yun tumekeng Hyang Sukma
den weruh ing sarirane
iku gegintinipun
aja pegat genira ngingling
satingkah paripolah
tan ana liyanipun
yogya pirih lumampaha
yen wus yekti tan nan prabedaneki
mungguh wong ahli wadat
(Dandang Gula)

 

Bagi orang Jawa kepercayaan untuk bisa manunggal dengan gusti bukan sesuatu  yang asing, dengan kepercayaan ini maka orang Jawa percaya bahwa dia bisa mencapai tingkat kemampuan tertinggi sebagai manusia, yaitu manunggal dengan Gusti yang telah ada di dalam dirinya. Dengan kata lain, untuk mencapai kesempurnaan, maka manusia tidak perlu mencari tahu tentang Gusti yang di atas, tetapi mencari dan menggali dirinya sendiri, seperti yang tersirat dalam tembang Dandang Gula di atas, yang kira kira berarti demikian:

Sang Pujangga memberikan nasihat ini kepada kamu; bila kamu ingin mencapai Hyang sukma, lihatlah kedalam dirimu, karena itulah wakilnya. Pandanglah terus menerus, dalam segala tingkah lakumu tak ada seseorang kecuali Dia. Baiklah kau usahakan itu, supaya itu terjadi. Kalau kau sudah melihat dengan jelas, maka tak ada perbedaan lagi. Bagi orang mencari kemanunggalan.

Bagi orang yang akrab dengan filsafat Barat, pandangan seperti inipun tidak asing, hanya saja mereka menamakannya sebagai humanisme yang mencari kebenaran dan kesempurnaan tidak lagi pada pencarian akan kebenaran Tuhan, tetapi pada pencarian atas diri sendiri. Pernyataan tentang pencarian kebenaran dalam diri sendiri tersebut dapat kita temui dari pernyataan Alexander Pope, sastrawan Inggris pada abad Pencerahan:

Know then thyself, presume not God to scan, The proper study of Mankind is Man.
Alexander Pope (1688–1744), English poet. An Essay on Man (1733).

Juga dalam pernyataan seorang sastrawan Amerika pada abad Modern.

I feel no need for any other faith than my faith in human beings.
Pearl Buck
(1892–1973), U.S. novelist. I Believe (1939).

            Kedua sastrawan ini, meski hidup pada abad yang berbeda, tetapi kedua abad tersebut, adalah abad dimana humanity menjadi fokus utama dalam kehidupan mereka. Bahkan pada abad pencerahan, metode kritik yang dipakai para humanis dari abad Renaisans dipakai dan dibawa ke permukaan untuk diaplikasikan ke semua bidang.

Sebelum kita masuk lebih jauh kedalam humanisme, mungkin lebih baik saya nyatakan dahulu justifikasi tentang penyejajaran antara panteisme Jawa dengan humanisme barat yang disebutkan kemudian.

Humanisme yang berakar dari filsafat Plato di Yunani, menurut matriks dari Watson[i] memiliki kaidah filsafat platonic. Dengan kaidah seperti itu, maka kebenaran dilihat melalui perspektif diafanik. Perspektif ini mendasarkan kebenarannya pada sesuatu yang di luar dirinya. Humanisme, seperti yang dinyatakan oleh Steven[ii], bukan sebuah paham yang anti Tuhan, tetapi justru menyadari ketidak-terbatasan dan kesempurnaan Tuhan. Karena itu para humanis memilih untuk melihat kebenaran sejauh kemampuan manusia, dan kemampuan ini dipercayai dapat mencapai titik tertinggi bila digali terus. Ini sesuai dengan prinsip realitas noumenal dari filsafat platonic. Dan prinsip kebenaran yang didapatkan ini harus dapat diterapkan kedalam segala hal, misalnya pada arsitektur, sistem proporsi yang sempurna harus diterapkan kepada semua bangunan, dari rumah sampai kuil.

Bagaimana dengan panteisme Jawa? Dalam kepercayaan Jawa (Kejawen) dipercaya bahwa Tuhan atau kita sebut saja Kebenaran, memang diakui sebagai sebuah kebenaran sempurna, tetapi dasar pencariannya adalah dalam diri sendiri. Dengan begitu segala sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh diri, tentunya bukan sebuah kebenaran. Meskipun begitu ada harapan untuk mengenal kebenaran yang diluar dari diri sendiri tersebut. Apakah ini bisa disejajarkan dengan Humanisme yang berasal dari barat?

Dalam pemikiran filsafat barat, apa spiritualisme Jawa (Kejawen) digolongkan pada Panteisme karena dalam kejawen sang pencipta dipercaya sebagai awang uwung atau sebuah kekosongan yang agung yang merupakan inti dari alam raya, dan ia tidak berwujud, tidak seperti para dewa yunani yang sangat anthropometric. Sang awang uwung tidak tunduk pada hukum anthropometri, namun sang awang uwung ini mewujud sempurna dalam manusia, karena itu keutamaan spiritual manusia harus dicari di dalam dirinya sendiri.

Jadi…. apakah itu Panteisme? atau Humanisme?

[i] Watson, W., The Architectonics of Meaning: Foundation of the New Pluralism, The University of Chicago Press, 1993.

[ii] Stevens, G., The Reasoning Architect: Mathematics and Science in Design, McGraw Hill, 1990, h.,248

From → philo-thoughts

Leave a Comment

Leave a comment

SETYABUDI ARCHITECT

Jasa Arsitek Jogja, Animasi Arsitektur, Desain Interior, Kontraktor

CanadianSpartacus's Blog

Please subscribe if you also care about Clean Air, Water, Food & Government

kecapkecup

mbak, boleh minta kecup? eh... kecap.

Beyond Post-Conflict Architecture

a PhD looking at architectural practice through conflict and contested territories in Belfast, Northern Ireland

rullydamayanti

blog diskusi arsitektur dan perkotaan

Gracious Mess

faith, life and humor

altrerosje's corner

let's talk about architecture and philosophy

altrerosje's journey

only a simple journal of my simple life journey

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.